Sunday, July 16, 2017

Tersipu

Pikiran ini mengangguku
seakan laron mengelilingi cahaya malam
riuh dan hawa 2 derajat menjaga tidurku

Aku merenung di batang gelisah
sore, malam, pagi hanya lewat
bising, tenang, biasa
bahkan sampai terlalu

pekaku tak pernah terangsang
kehangatan sekilas mulai alihkan duniaku
nyaman akan kesalahan
menduga tapi pasti

langit malam harapan tersirat
bintangpun menutupi bentuknya
api, harapan palsu yang selalu menyombongkan diri akan kelebihannya

aku bukan penikmat malam dataran tinggi
teriakan penantian akan dekapan
mata yang selalu tertutup atas keindahan
penikmat laut yang memaksa diri bertemu 

alunan pikirannya membangunkanku dr tidur yang tak terbangun
mataku yg sengaja dibuatnya buka tutup
berat dan sedikit terbuka

aku tak pernah sadar akan keindahanku
hingga langit membiarkanku lihat keindahannya
filosofi yg tak mudah dimengerti para hamba
canggung atas minoritas pilihan alam semesta

aku tersipu tapi terbatas
tugasku sekedar melihat dan memastikan keindahannya
tak sanggup kugapai tingginya
tak bisa kuraih angannya

jika memang filosofinya mulai memukauku, mengapa aku hanya dibiarkan terpukau tanpa bisa meraihnya?
sedangkan laut selalu mengundangku untuk terjerumus lebih dalam akannya.

Gunung Papandayan
Sabtu, 15 Juli 2017













Tuesday, July 4, 2017

Mengejar Nirwana

Gelap ditemani cahaya subuh
Ramai tak biasa hari itu
Syaiton memberatkanku untuk beranjak
Kumandang nama-Nya yang selalu kubanggakan disekitarku

Aku mencoba berlari mengejarnya
Menuju apa yang harus kucari
Setapak dan aspal kulalui
Mencari yang tak biasa

Jalan dan berlari 
Suara-Nya membuatku menyusuri bandara pagi itu
Semakin dekat dan menarikku kesana
Aku didekapnya dan menunduk
Bersujud berlumuran air

Duniaku, biru dan indah hari itu
Bersama menara masjid tempat ibadah
Idul fitri, takbir yang menggelora dalam diriku
Untuk mengejar Nirwana.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1438 H.

Jakarta, 25 Juni 2017
Masjid Angkasa Pura Terminal 1 
Bandara Soekarno-Hatta











Saturday, April 29, 2017

Selamat Hari Puisi Nasional

Sebatang Lisong (1977)
Karya W.S Rendra
Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………
Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
………………
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.
19 Agustus 1977
ITB Bandung
Potret Pembangunan dalam Puisi

Friday, April 7, 2017

Berhenti

Senyuman anyaman menggelora
Senandung bergelantung
Alunan berseri
Menimang senja menjelang kabut

ceritaku ceritamu ceritanya
mengembang dalam sementara
anggun memilah gesek
lepas tanpa gairah

betapa elok kubangan itu
pantulannya memanggil bintang
tak sadar banyak figuran didalamnya
seolah semua berkaca

aturan sosok
kartu kuning kadang merahku
pinta otentik akan hasil
antara layangan dan burung

lelap akan kebiasaan
acuh sangat
bantal kasur menanti di tiduri 
tak sadar akan seharusnya mengganti sprei

hati ini sudah lagi tak retak byk cabang
tapi mata yg membantunya sedikit retak
seakan tak ada gerangan yg mengganggu
uluran tgn yg berusaha menggapai

aku baik
aku tak peka
aku tak butuh hati
aku hanya butuh otak yg menggauli sikapku
anganku
nadiku
bahkan hidupku

tersadar akan bodohnya situasi yg dibuat
peka ini muncul, tamparan lancip dimukaku
seakan aku berkaca aku
tak lagi mengemis cintanya
tak lagi mencarinya

cukup situasi menggenang tanpa aliran
cukup situasi mati berdiri
cukup situasi membodohi diri
cukup situasi seakan tak terjadi

berhenti
aku janji

Jakarta, 7 April 2017
kasur apart








Thursday, March 30, 2017

Ambarawa

intuisi
semarak khalayak dalam ruang
gaung menggebu
resah menggelitik

malam menjelang pagi
tersungkur ditengah kepastian
hentakan tak henti berbunyi
memaksa kembali anganku

nadiku bertikam
seolah embun menolak dingin
tersungkur menggaung
rasa yg sudah hampir mati

tak ada hati yg sudah pilu
sembari angin mengiup
udara bagai air
berhembus dan mengalir

wahai pencari jati diri
sadarkah jalanan berkelok
longsor dan petir menyambut
geni menerangi hutan

ambarawa
fenomenal namamu
gaduh akan pengorbanan
harapan singgah

penantian sanubari tak pernah berhenti
entah apa inginmu
boleh aku berlari?
menuju kepastian tak terjawab?

Jakarta, 30 Maret 2017
Sofa Apart