Saturday, April 29, 2017

Selamat Hari Puisi Nasional

Sebatang Lisong (1977)
Karya W.S Rendra
Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………
Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
………………
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.
19 Agustus 1977
ITB Bandung
Potret Pembangunan dalam Puisi

Friday, April 7, 2017

Berhenti

Senyuman anyaman menggelora
Senandung bergelantung
Alunan berseri
Menimang senja menjelang kabut

ceritaku ceritamu ceritanya
mengembang dalam sementara
anggun memilah gesek
lepas tanpa gairah

betapa elok kubangan itu
pantulannya memanggil bintang
tak sadar banyak figuran didalamnya
seolah semua berkaca

aturan sosok
kartu kuning kadang merahku
pinta otentik akan hasil
antara layangan dan burung

lelap akan kebiasaan
acuh sangat
bantal kasur menanti di tiduri 
tak sadar akan seharusnya mengganti sprei

hati ini sudah lagi tak retak byk cabang
tapi mata yg membantunya sedikit retak
seakan tak ada gerangan yg mengganggu
uluran tgn yg berusaha menggapai

aku baik
aku tak peka
aku tak butuh hati
aku hanya butuh otak yg menggauli sikapku
anganku
nadiku
bahkan hidupku

tersadar akan bodohnya situasi yg dibuat
peka ini muncul, tamparan lancip dimukaku
seakan aku berkaca aku
tak lagi mengemis cintanya
tak lagi mencarinya

cukup situasi menggenang tanpa aliran
cukup situasi mati berdiri
cukup situasi membodohi diri
cukup situasi seakan tak terjadi

berhenti
aku janji

Jakarta, 7 April 2017
kasur apart